EBuzz-Cara menghilangkan penat bagi kebanyakan orang adalah melakukan perjalanan menuju tempat-tempat yang dianggap bisa memberikan efek relaksasi. Ada yang melakukan wisata kuliner, menonton film di bioskop, ke pantai menikmati debur ombak dan sunset di sore hari, ada pula yang rela menerjang dinginnya pegunungan untuk memanjakan mata dengan nuansa hijau dari alam nan asri.
Musim liburan di akhir Januari 2025 ini yang cukup panjang dari mulai Sabtu tanggal 25 hingga 29 Januari, karena adanya perayaan Isra Mi’raj sebagai hari besar Islam dan juga Hari raya Imlek memberikan waktu cukup panjang untuk berlibur bersama keluarga, pasangan hingga kawan sejawat. Salah satu destinasi yang sangat populer dan banyak di kunjungi para pelancong dari berbagai daerah untuk menikmati keindahan alamnya adalah Dieng di Banjarnegara dan Wonosobo yang berada di ketinggian di atas 2000 MDPL, serta memiliki ciri khas dingin dengan kabutnya.

Ketika kita menuju dataran tinggi Dieng dari arah mana saja, sudah pasti sepanjang perjalanan itu pula mata kita akan dimanjakan oleh pemandangan yang terus membuat kita kagum atas Ciptaan Tuhan. Kali ini mungkin akan dibahas sedikit pengalaman perjalanan menuju Dieng. Ya perjalanan dimulai sejak Jumat 24 januari 2025, sore hari dari Kota Depok perjalanan dimulai sudah beserta hujan yang mengiringi, kami melintasi jalan Tol dari arah Jl Margonda Raya menuju Cibitung, lalu melanjutkan ke Tol trans jawa via Cikampek melaju terus hingga keluar pada pintu Tol Weleri. Lalu melanjutkan ke jalan nasional menuju Wonosobo dan menuju Dieng melewati wisata alam kebun teh Tambi menuju titik 0 KM Dieng dengan melintasi kemegahan alam disisi Gunung Prau dengan menempuh jarak kurang lebih 420 KM.

Dieng adalah gugusan keindahan, tidak mudah rasanya melupakan segala rasa setelah menatap dan merasakan sentuhan lembut kabut tipis yang menyelimuti megah keindahan alamnya. Salah satu pikatan terindah mata memandang adalah Telaga Warna. Dari berbagai versi yang terdengar tentang tempat sakral bagi Penduduk Dieng ini. Kisah paling menarik bagi saya adalah Karmapala dimana perubahan warna dari Telaga Warna dengan hijau, kuning, biru hingga pelangi.

Cerita malam dan pagi dalam balutan kabut nan dingin khas Dieng yang saya terima diantaranya, kisah Cupumanik Astagina milik Batara Surya. Kemegahan alam Dieng mampu melenyapkan rasa lelah dan letihnya perjalanan hampir 9 Jam lamanya.
Yaa, dalam kisah pewayangan Ramayana Cupumanik Astagina merupakan benda pusaka yang diberikan kepada Dewi Indradi dengan segala khasiat kesaktian sehingga memicu tragedi dalam perjalanan kisah kasih Dewi Indradi beserta tiga putrinya.
Batara Surya sangat mencintai Dewi Indradi, semenatara, sang Dewi ternyata sudah memiliki pujaan hati yaitu Resi Gotama. Batara Surya dengan kehebatan yang dimiliki bisa merubah diri menjadi Resi Gotama yang sedang berperang memperjuangkan Dewi Indradi. Penyamaran Batara Surya menjadi Resi Gotama membuat sang Batara berhasil memadu kasih dengan sang Dewi. Setelah paduan kasih terjadi rupanya Batara Surya secara jujur menunjukkan wujud aslinya dan memberikan Cupumanik Astagina kepada Dewi Indradi dan tetap disimpan hingga waktu yang cukup lama. Hingga saatnya tiba Resi Gotama kembali dari perang dan menikahi Dewi Indradi. Mereka dikaruniai tiga orang putri bernama Anjani, Subali dan Sugriwa.
Waktulah yang memberikan jawaban ketika keberadaan Cupumanik ketahuan oleh Resi Gotama dan akhirnya dibuang dan jatuh di dua telaga yaitu telaga Sumala dan Telaga Nirmala.

Namun, keindahan alam yang memikat tidak melulu menghadirkan kisah indah pula. kadang takdir membawa seseorang untuk kuat menahan dinginnya negeri para Dewa dan hati yang juga tersayat. Kisah lain dari Dieng adalah Batu Ratapan Angin. Lanskap purba dengan keindahan ini merupakan dua batu besar tepat di atas Telaga Warna yang berdampingan. Dari sisi keduanya, hamparan luas nan indah Telaga Warna dan Telaga Pengilon bak lukisan alam nan sempurna.

Dibalik kata batu yang identik keras dan kokoh, tersirat kisah pilu yang mengiringinya dimana desis angin yang menerobos di antara celah keduanya menghasilkan suara mendesis seolah ratapan kesedihan. Mungkin inilah sebab dua batu kokoh ini disebut Batu Ratapan. Dalam sepenggal kisah cerita terdengar seorang laki-laki bersama wanita pasangan hidupnya menjalani kehidupan damai.

Siapa bisa menebak Nasib? kisah teragis datang menghampiri Laki-laki ini ketika hadir orang ketiga perjalanan mereka di dinginnya Dieng, Wanita itu masuk dalam prahara asmara dengan Laki-laki lain hingga Laki-laki dalam lakon utama ini menyaksikan wanita pilihannya memadu kasih dengan Laki-laki kedua. Hingga dengan segala rasa cinta dan amarah penuh kecewa yang berkecamuk dalam sanubarinya, Laki-laki utama ini mengutuk mereka hingga menjadi batu dengan posisi lelaki berdiri tegak dan wanita duduk disampingnya. Dengan segala rasa yang merusak hatinya, laki-laki ini kerap kembali melihat batu itu yang memantulkan suara gema memantul dari angin di antara tebing.