APNI Dorong Pemerintah Evaluasi Ulang Implementasi Royalti Baru untuk Minerba

EBuzz – Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan kekecewaannya atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2025 tentang Penyesuaian Tarif Royalti Mineral dan Batu Bara (Minerba). PP yang ditandatangani Presiden pada 11 April 2025 ini akan berlaku efektif 15 hari setelah diundangkan.

APNI menilai kebijakan kenaikan tarif royalti ini kurang tepat waktu, terutama di tengah kondisi harga nikel global yang sedang mengalami penurunan tajam akibat ketegangan geopolitik dan perang dagang AS-China. 

Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin, menyatakan bahwa industri minerba selama ini menjadi salah satu penyumbang utama penerimaan negara. Tahun lalu, sektor ini menyumbang Rp140,5 triliun atau 52,1% dari total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor ESDM sebesar Rp269,6 triliun.

Menurutnya, dalam situasi global yang penuh tantangan ini, industri seharusnya diperkuat dan didukung, bukan justru dibebani dengan kenaikan tarif royalti.

“Kenaikan tarif royalti di tengah ketidakpastian ekonomi global dikhawatirkan akan semakin membebani industri nikel nasional, baik sektor hulu maupun hilir, serta berpotensi mengurangi daya saing dan kontribusi sektor ini terhadap perekonomian nasional,” ucap Meidy dalam keterangan tertulisnya, Rabu (16/4/2025). (17/4).

Meskipun memahami bahwa PP tersebut telah resmi diundangkan, APNI berharap pemerintah masih membuka ruang dialog untuk mengevaluasi kembali kebijakan ini secara menyeluruh.

“APNI mengusulkan potensi penundaan implementasi atau penerapan tarif secara bertahap guna memitigasi dampak negatif terhadap keberlangsungan industri nikel,” tuturnya.

Sebagai solusi alternatif yang lebih konkret, APNI mendorong pemerintah untuk merevisi formula Harga Patokan Mineral (HPM) bijih nikel, ferronickel, dan nickel pig iron (NPI). Formula HPM saat ini dinilai terlalu rendah dibandingkan indeks harga pasar internasional seperti Shanghai Metals Market (SMM), yang berpotensi menyebabkan kerugian nilai pasar hingga 6,3 miliar USD dalam dua tahun terakhir.

“APNI mengusulkan agar formula HPM diperbarui dengan memasukkan nilai keekonomian dari kandungan besi pada bijih saprolit dan kobalt pada bijih limonit, yang selama ini belum dimonetisasi. Estimasi APNI menunjukkan bahwa penyesuaian ini berpotensi meningkatkan HPM hingga lebih dari 100%, tergantung pada karakteristik bijih dan efisiensi ekstraksi,” pungkas Meidy.

APNI menegaskan komitmennya untuk mendukung agenda hilirisasi nasional dan mendorong agar kebijakan fiskal di sektor minerba dapat diarahkan untuk menciptakan iklim usaha yang sehat, berdaya saing, dan berkelanjutan. APNI berharap pemerintah bersedia membuka ruang pembahasan lebih lanjut agar implementasi PP No. 19 Tahun 2025 dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih adaptif dan kolaboratif.

Terbaru

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini