Sejumlah Manajer Investasi Besar di Dunia Masih Enggan Kembali ke Aset-Aset Indonesia

EBuzz-Upaya pemerintah untuk mendorong perekonomian masih menghadapi masalah tersendatnya aliran masuk dana investor global ke Indonesia. Investor mempertayakan arah kebijakan pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Laman Bloomberg, Senin (14/4) melaporkan, bahwa sejumlah manajer investasi terbesar di dunia masih enggan untuk masuk kembali ke aset-aset Indonesia. Mereka menilai perubahan-perubahan besar di bawah pemerintahan Prabowo telah membuat saham-saham anjlok paling parah sejak 2011 bulan lalu.

Wawancara Bloomberg dengan 12 perusahaan investasi mengungkapkan bahwa para investor dari Melbourne hingga London berpendapat bahwa ada kantong-kantong nilai yang menarik di Indonesia tetapi hanya sedikit insentif untuk melakukan pembelian.

Saat ini para pejabat pemerintah di seluruh dunia sedang menghadapi masalah yang memusingkan, yaitu kejutan kenaikan tarif dari Presiden AS Donald Trump. Perang dagang yang digencarkan Trump telah mengguncang pasar dan mengacaukan rantai pasokan.

Namun para investor berpendapat, Indonesia juga menghadapi tantangan tambahan dalam mencoba mengelola keuangan negara, sambil terus melanjutkan proyek-proyek prioritas yang dinilai ambisius dan mahal.

Menarik aliran dana asing menjadi sangat penting saat ini bagi Indonesia. Volatilitas global melemahkan kepercayaan investor, yang sudah semakin rapuh oleh arah kebijakan pemerintah baru-baru ini. Kesalahan melangkah akan mengulangi kekalahan bulan lalu.

Dalam tiga bulan pertama tahun ini, investor asing melepas dana USD1,8 miliar dari saham-saham Indonesia, arus keluar terbesar pada kuartal pertama sejak setidaknya tahun 1998.

“Pasar jelas sangat, sangat gelisah,” kata Carol Lye, manajer portofolio di Brandywine Global Investment Management LLC, Singapura, bagian dari Franklin Templeton. Jika ada lebih banyak kebisingan di sekitar tata kelola pemerintahan atau pergantian besar dalam personil kunci, hal itu dapat memicu aksi jual lagi, imbuhnya seperti idkutip Bloomberg.

Mereka menilai Prabowo telah mulai mengikis pagar-pagar yang telah lama berdiri, termasuk merealokasi miliaran dolar AS dari anggaran negara untuk program-program prioritasnya, proposal untuk mengubah mandat bank sentral dan membentuk  sovereign wealth fund  yang kontroversial. Program makan siang sekolah gratis yang ambisius juga mengancam untuk menyebabkan defisit anggaran semakin dekat ke batas legal 3 persen dari produk domestik bruto.

Kekhawatiran-kekhawatiran ini merembet ke pasar pada Maret lalu, ketika ekuitas Indonesia jatuh, imbal hasil obligasi pemerintah melonjak, dan rupiah jatuh ke level terlemah sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1998.

Pergerakan penghindaran risiko ini merupakan sebuah perubahan yang mengejutkan bagi para manajer investasi institusional yang telah memandang pasar Indonesia sebagai salah satu pasar favorit di kawasan ini setahun yang lalu.

“Tidak ada ledakan besar yang terjadi, hanya ada banyak ledakan-ledakan kecil yang mengikis pertumbuhan dan kepercayaan,” kata Rob Brewis, seorang manajer investasi di Aubrey Capital Management, Edinburgh. “Ini adalah arah yang tidak dihargai oleh para investor,” ujar Brewis.

Namun bagi sejumlah investor, aksi jual yang menekan aset-aset Indonesia telah menciptakan kesempatan untuk kembali pada tingkat yang relatif menarik.

REYL Intesa Sanpaolo yang berbasis di Jenewa telah membeli saham-saham perbankan Indonesia karena dividennya yang menarik. JPMorgan Asset Management dan Allianz Global Investors juga telah membeli obligasi Indonesia sebagai antisipasi bahwa bank sentral akan terus melakukan pelonggaran.

“Meskipun arah pembuatan kebijakan di bawah Prabowo perlu dipantau secara ketat, kami memperkirakan bahwa hal ini akan diwarnai oleh keinginannya untuk mendapatkan masa jabatan kedua, dan dengan demikian, ia akan lebih mudah menerima opini publik,” ujar Ze Yi Ang, manajer portofolio senior pendapatan tetap Asia Pasifik di AllianzGI.

Meskipun Allianz banyak membeli obligasi pemerintah bertenor lima sampai 10 tahun pada akhir Maret, perusahaan ini tetap “mewaspadai kredibilitas fiskal”.

Likuiditas juga menjadi perhatian. Menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg, hanya 12 perusahaan Indonesia dari 900 lebih perusahaan yang terdaftar di IHSG yang memiliki omset harian rata-rata lebih dari USD10 juta selama tiga bulan terakhir.

Ini adalah rasio terendah dari semua tolok ukur di Asia Tenggara. Dan dengan posisi saham-saham Indonesia yang hanya menjadi bagian kecil dari indeks MSCI Emerging Markets, menghambat investor global untuk mencari aset-aset yang dapat diinvestasikan, yang sepadan dengan usaha yang dilakukan.

“Jika investor tidak dapat membangun keyakinan, sebesar 1,2 persen dari acuan, mereka mungkin akan mempertanyakan apakah mereka perlu berinvestasi di saham-saham Indonesia,” kata Veronique Erb, manajer portofolio untuk saham-saham  emerging market  di RBC Blue Bay Asset Management di London. Ia mengaku telah mengurangi eksposur yang terlalu besar terhadap saham-saham Indonesia selama 18 bulan terakhir. Tesis investasi jangka panjang untuk Indonesia tetap utuh meskipun ada ketidakpastian jangka pendek, tambahnya.

Upaya pemerintahan Indonesia saat ini untuk menegosiasikan pembatalan kenaikan tarif Presiden AS Donald Trump, yang dapat berdampak besar pada perekonomian, tak luput dari perhatian investor. Namun di luar masalah tarif, bagaimanapun juga, pemerintah juga harus berupaya mendapatkan kembali kepercayaan dari para manajer keuangan yang sudah tergerus, demi meningkatkan prospek ekonomi.

“Kami akan mengamati dengan seksama arah pemerintahan karena hal ini akan menentukan arah mana yang akan diambil negara dalam jangka panjang,” ujar Yasmin Chowdhury, analis investasi senior untuk  emerging market  di Federated Hermes. (Bloomberg)

Terbaru

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini