Seberapa Akurat Sikap Prabowo, Para Menteri, OJK hingga BEI Menyikapi Kondisi Pasar Saat Ini?

EBuzz-Setelah mengalami tekanan jual pada hari pertama pembukaan perdagangan pasca libur panjang Idul Fitri dengan koreksi seadalam 9 persen lebih hingga menyebabkan trading halt, IHSG mulai menunjukkan penguatan. Hari ini 9 Maret 2025, IHSG dibuka menguat bahkan sempat ke 6.090 pada pukul 09:15 WIB.

Sikap cepat pemerintah yang langsung dipimpin oleh Presiden Prabowo dalam menyikapi berbagai sentimen perang dagang dari AS cukup memantik respon para pelaku ekonomi dan pelaku pasar. 

Dalam pidato pembukanya di sarasehan ekonomi itu, Prabowo menyatakan bahwa goncangan dunia saat ini disebabkan oleh AS yang memberlakukan peningkatan tarif tinggi kepada banyak negara.

“Banyak negara yang cemas, padahal sebenarnya pendiri-pendiri bangsa kita dari sejak dulu—dan termasuk saya bertahun-tahun—saya sudah ingatkan mari kita bangun ekonomi kita dengan sasaran berdiri di atas kaki kita sendiri,” ujar Prabowo, pada Selasa (08/04).

Prabowo menyampaikan bahwa swasembada pangan dan swasembada energi merupakan sasaran utama dari strategi ekonomi pemerintahannya, sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) PBB. Dalam sarasehan tersebut, Prabowo mengapresiasi masukan dari sejumlah asosiasi pegiat ekonomi, khususnya mengenai perizinan.

Dia meminta kepada jajarannya untuk lebih efisien dan mempermudah birokrasi untuk para pegiat ekonomi. “Sebetulnya Presiden Trump mungkin membantu kita. Dia memaksa kita, supaya kita ramping, efisien, tidak manja. Ini kesempatan,” ujar Prabowo.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mengambil jalur negosiasi ketimbang membalas tarif yang diterapkan pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyampaikan hal itu dalam sarasehan ekonomi di Menara Mandiri, Jakarta, pada Selasa (08/04).

Simposium antara pemerintah dan para pegiat ekonomi itu membahas langkah-langkah Indonesia menghadapi tarif resiprokal 32% dari AS. “Arahan Bapak Presiden, Indonesia memilih jalur negosiasi, karena AS adalah mitra strategis,” ujar Airlangga melalui kanal resmi Sekretariat Presiden di Youtube.

Fundamental perekonomian nasional yang tetap kokoh dan terbukti tangguh mampu menjadi bekal optimisme dalam menghadapi ketidakpastian global saat ini. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang stabil pada level 5% (yoy), posisi fiskal yang sehat dengan defisit anggaran dan rasio utang negara yang rendah, inflasi yang terkendali pada Maret 2025 sebesar 1,03% (yoy), Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Februari 2025 pada level optimis sebesar 126,4, PMI Manufaktur Maret 2025 yang berada di zona ekspansif sebesar 52,4 menjadi wujud resiliensi perekonomian nasional.

Selain berbagai capaian tersebut, peringkat daya saing Indonesia pada tahun 2024 juga mampu menduduki peringkat ke-27 dari 67 Negara (World Competitiveness Ranking 2024) yang diukur dari faktor Kinerja Ekonomi, Efisiensi Pemerintah, dan Efisiensi Bisnis. Di samping itu, Sovereign Credit Rating (SCR) Indonesia berada satu tingkat di atas Investment Grade. Menurut Moody’s, ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga berkat permintaan domestik yang kuat dan komitmen Pemerintah dalam menjaga kredibilitas kebijakan moneter dan fiskal.

“Tadi sudah saya sampaikan bahwa DPK kita di atas 5% dan penyaluran kreditnya di atas 10,42%. Kemudian likuiditas perbankan terjaga, loan to deficit ratio-nya sudah juga di angka baik 88,92% dan juga kita lihat capital adequacy ratio-nya 27%. Sehingga sebetulnya perbankan kita solid dalam periode saat sekarang,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam acara Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, Selasa (8/04).

Lebih lanjut, Menko Airlangga menambahkan bahwa risiko ketidakpastian ekonomi global di tahun 2025 cenderung tinggi dan berasal dari instabilitas geopolitik, proteksionisme negara maju yang memengaruhi rantai pasok dan perdagangan global, serta pengetatan kebijakan moneter untuk mengatasi inflasi yang masih tinggi. Kondisi tersebut juga kian diwarnai dengan kebijakan Tarif Resiprokal yang dikeluarkan Amerika Serikat.

Pasca penyampaian kebijakan tarif resiprokal tersebut, sejumlah dampak timbul mulai dari gejolak pasar keuangan ekonomi global yang ditandai fluktuasi bursa saham dunia dan pelemahan mata uang emerging markets, terganggunya perdagangan dunia yang ditandai dengan terganggunya rantai pasok global dan penurunan volume perdagangan dunia sehingga menekan harga komoditas global seperti Crued Oil dan Brent, serta perlambatan ekonomi kawasan dan dunia yang ditandai dengan penurunan konsumsi global dan penundaan investasi perusahaan.

Sebagai bentuk respons atas kebijakan tersebut, sejumlah negara telah memutuskan mengambil sejumlah strategi seperti Tiongkok yang menetapkan Tarif Balasan (Retaliasi) sebesar 34%, Vietnam yang meminta penundaan penerapan tarif dan melakukan negosiasi, Uni Eropa yang menyiapkan tindakan balasan ddan membuka peluang diplomasi, Thailand yang akan melakukan negosiasi serta mempertimbangkan diversifikasi pasar, hingga India dan Malaysia yang juga akan menempuh jalur diplomatik.

Pemerintah Indonesia sendiri telah memutuskan untuk berbagai langkah strategis diantaranya melalui jalur negosiasi dengan mempertimbangkan AS sebagai mitra strategis. Salah satu jalur negosiasi tersebut yakni melalui revitalisasi Perjanjian Kerjasama Perdagangan dan Investasi (TIFA). Pemerintah juga akan melakukan Deregulasi Non-Tariff Measures (NTMs) melalui Relaksasi TKDN sektor ICT  dari AS (GE, Apple, Oracle, dan Microsoft), serta Evaluasi Lartas (Import License), hingga Percepatan Halal.

Di samping itu, Pemerintah juga akan melakukan balancing terhadap Neraca Perdagangan dengan AS melalui pembelian produk agriculture dari AS seperti Soya Bean, pembelian peralatan engineering, pembelian LPG, LNG, dan Migas oleh Pertamina. Langkah selanjutnya, Pemerintah juga menyiapkan Insentif Fiskal atau Non-Fiskal, untuk mendorong impor dari AS dan menjaga daya saing ekspor ke AS. Sebelumnya, Pemerintah juga telah melakukan negosiasi melalui pertemuan antara KBRI dengan USTR dan melakukan sosialisasi dan menjaring masukan masyarakat dengan melibatkan asosiasi pelaku usaha.

Lebih lanjut, Menko Airlangga menjelaskan bahwa beberapa produk ekspor unggulan Indonesia seperti apparels dan footwear memiliki berpeluang besar melakukan penetrasi pasar, karena memiliki tarif lebih rendah dari beberapa negara peers seperti Vietnam (46%), Banglades (37%), dan Kamboja (49%). Selain itu, Indonesia juga dinilai memiliki fleksibilitas yang lebih besar untuk menyeimbangkan Neraca Perdagangan dengan AS melalui peningkatan impor barang dari AS. Dengan surplus yang kecil dan ketergantungan yang rendah, Indonesia berada dalam posisi yang lebih aman dan strategis untuk memperkuat kerja sama dagang dengan AS.

Ke depan, berbagai kebijakan jangka menengah juga telah disiapkan Pemerintah mulai dari penciptaan lapangan kerja melalui penguatan industri padat karya, optimalisasi DHE SDA dan implementasi kegiatan usaha bulion, hingga membuka peluang pasar di 83% global trade melalui berbagai kerja sama internasional seperti IEU-CEPA, RCEP, IPEF, hingga CP-TPP.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Prabowo Subianto saat menyampaikan arahan juga menekankan bahwa meski kebijakan tarif tersebut menjadi tantangan bagi perekonomian, namun seluruh stakeholders terkait perlu bekerja sama untuk mengatasi dampak kebijakan tersebut.

“Negara-negara ekonomi yang terkuat membuat kebijakan-kebijakan memberi peningkatan tarif yang begitu tinggi kepada banyak negara ini bisa dikatakan menimbulkan ketidakpastian dunia. Saya bertahun-tahun saya sudah ingatkan mari kita bangun ekonomi kita dengan sasaran berdiri di atas kaki kita sendiri,” tegas Presiden Prabowo Subianto.

Turut hadir dalam kesempatan tersebut diantaranya yakni Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, sejumlah Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Indonesia Maju, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Perwakilan Kementerian/Lembaga, Perwakilan Ekonom, Perwakilan Serikat Pekerja, Perwakilan Pelaku Usaha, hingga Perwakilan Analis Pasar Modal.

Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menggarisbawahi Indonesia sebetulnya punya banyak alternatif untuk mendiversifikasi tujuan ekspor. “Dependensi kita terhadap AS tidak terlalu besar dibandingkan (sejumlah) negara-negara lain,” ujarnya.

Bahkan, sikap cepat juga di ambil oleh OJK, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar melakukan pertemuan lanjutan dengan Self Regulatory Organization (SRO) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, pada malam hari. Pertemuan diadakan setelah acara pertemuan Presiden RI Prabowo Subianto dengan pelaku ekonomi siang ini, Selasa, (8/4/2025).

Mahendra terpantau datang sekitar pukul 18.00 WIB, Ia disambut oleh jajaran direksi dari SRO, diantaranya Direktur Utama BEI Iman Rachman, Direktur Utama KSEI Samsul Hidayat dan Direktur Utama KPEI Iding Pardi.

Ketua DK OJK Mahendra Siregar di temanani Jajaran Direksi SRO di Bursa Efek Indonesia
Ketua DK OJK Mahendra Siregar bersama Jajaran Direksi SRO di Bursa Efek Indonesia

Mahendra mengatakan agenda bertujuan untuk mendapat pembaruan kondisi pasar pasca dibukanya kembali perdagangan di tengah ketidakpastian global. “Kita ingin dapet update mengenai perkembangan pasca kita buka kembali ya, juga kan kita tahu bahwa kondisi globalnya tentu sekarang sedang sangat volatile ya, sehingga ingin pahami juga dampaknya kepada kondisi di bursa kita,” tutur Mahendra saat ditemui di Gedung BEI, Selasa, (8/4/2025).

Pembahasan pertemuan kali ini juga difokuskan pada pendalaman pasar dan peningkatan investasi. Ini termasuk mendorong investor institusi domestik agar aktif menanamkan dana dalam bentuk yang wajar di pasar modal.

Diskusi juga dilakukan dengan Kementerian Keuangan dan Kemenko Perekonomian untuk memperkuat partisipasi investor lokal. Menurut Mahendra, semua pihak perlu melihat pasar modal sebagai kepentingan bersama dan terus memperkuat perannya dalam perekonomian.

dalam pertemuan siang harinya bersama Presiden dan jajaran menteri, Mahendra menyampaikan bahwa Presiden telah membentuk tim khusus untuk membahas dan merundingkan tarif tersebut dengan pendekatan saling menguntungkan, bukan retaliasi.

Menurut Mahendra, Presiden juga menekankan pentingnya deregulasi, simplifikasi izin, dan reformasi sebagai bagian dari strategi menghadapi tekanan dagang. Selain itu, fokus pemerintah adalah menciptakan neraca perdagangan yang lebih seimbang dengan tetap meningkatkan volume ekspor.

Pemerintah juga melihat peluang jangka menengah hingga panjang dari kondisi ini, termasuk dalam menarik investasi dan mengembangkan kapasitas industri dalam negeri. Indonesia dinilai memiliki posisi tawar yang lebih baik dibanding negara lain dalam menghadapi tekanan tarif global.

Mahendra menjelaskan bahwa negara lain bisa lebih terdampak karena pasar domestik mereka lebih kecil dan kapasitas produksi terbatas. Sementara Indonesia bisa memanfaatkan kekuatan pasar dalam negeri dan kebijakan paralel untuk merespon tekanan global.

Presiden juga menyampaikan pentingnya menjaga pasar dalam negeri agar tidak menjadi pelampiasan kelebihan produksi global. OJK mendukung penguatan peran aparat dalam mengamankan pasar domestik dari potensi dumping.

Mahendra berharap sikap tegas pemerintah ini juga terbaca jelas oleh pelaku pasar. Ia menyebut respons terkoordinasi pemerintah bisa menjadi sinyal positif bagi investor dan emiten yang tercatat di bursa.

“Secara spesifik mengenai pasar ya apakah itu rupiah apakah SBN apakah saham memang tidak masuk ke isu-isu teknis ya. Tapi Bapak Presiden mau menyampaikan pesan yang jelas mengenai apa yang sudah diraksanakan oleh pemerintah dalam berbagai hal termasuk juga dalam merespon dari kebijakan tarif pemerintah Amerika,” kata Mahendra.

Menurut Mahendra, hal ini cukup untuk membangun kembali kepercayaan pasar. Ia menilai perhatian Presiden kini jauh lebih menyeluruh terhadap semua aspek perekonomian nasional.

Sebelumnya, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman bersama sejumlah regulator menyampaikan adanya perubahan mekanisme auto reject bawah (ARB) dan pemberlakuan trading halt atau penghentian perdagangan sementara. Perubahan mekanisme tersebut diharapan kepada investor untuk bisa memiliki waktu lebih banyak untuk mencerna kondisi IHSG yang anjlok.

Iman juga menyampaikan sejumlah upaya ditempuh untuk menghadapi sejumlah tekanan ekonomi. Regulator telah memperbolehkan sejumlah emiten melakukan buyback tanpa melakukan Rapat Utama Pemegang Saham.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan terdapat 16 Emiten yang berencana untuk melakukan buyback terhadap sahamnya pada sesi perdagangan mendatang.

Iman Rachman, mengatakan penyesuaian trading halt jadi 8 persen salah satunya untuk mengantisipasi pasar modal RI terhadap gejolak genderang tarif impor Presiden AS Donald Trump ke sejumlah negara mitra termasuk Indonesia. Indonesia kena 32 persen tarif impor dari AS.

“Ini adalah langkah strategi yang dilakukan Bursa untuk mengantisipasi karena tarif (Trump) di global,” ungkap Iman saat konferensi persnya di Kantor BEI, Jakarta, Selasa (8/4).

Kata Iman, penyesuaian trading halt BEI dilandasi karena transaksi Efek di bursa regional dan global dalam beberapa hari terakhir cukup fluktuatif.

“Trading halt telah menjadi mekanisme penting dalam menjaga kondisi pasar teratur, wajar, dan efisien, khususnya saat terjadi volatilitas pasar,” lanjutnya.

Direktur Pengembangan BEI, Jeffrey Hendrik, menyebut untuk memetakan potensi risiko perang tarif global dari AS ke Indonesia, harus dilihat juga lewat pergerakan bursa dunia.

Kebijakan penyesuaian trading halt dinilai jadi salah satu antisipasi menyikapi perang tarif global tersebut. Katanya, karena dampak perang tarif ini, beberapa bursa saham di negara-negara lain juga sudah mengambil kebijakannya masing-masing.

“Jadi itu adalah bentuk mitigasi yang dilakukan OJK dan SRO, agar perdagangan dilakukan secara teratur wajar dan efisien,” kata Jeffrey di kesempatan yang sama.

Jeffrey melanjutkan, ada sentimen lokal yang membayangi keputusan trading halt diperlebar, yakni faktor pelemahan rupiah yang kini masih berlanjut.

“Faktor domestik dan global, terkait dengan kelemahan rupiah yang selama liburan mengalami pelemahan, lalu kondisi makro ekonomi yang kita yakini masih baik secara fundamental, emiten kita juga masih baik,” imbuh Jeffrey.

Secara global, kata Jeffrey, adanya peningkatan risiko yang ditempatkan pada resiprokal tarif AS, sehingga bisa memicu inflasi, terbukanya potensi suku bunga lebih tinggi di AS, dan ketidakpastian yang terjadi dari kondisi tersebut itu juga menjadi latar belakang.

 

Terbaru

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini