EBuzz – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kebijakan pemerintah untuk kembali menjalankan Tax Amnesty jilid ketiga akan selalu menimbulkan polemik dan diskursus yang bertentangan. Pasalnya, kebijakan Tax Amnesty ini akan memberikan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh.
Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani menjelaskan bahwa, polemik kebijakan Tax Amnesty jilid ketiga ini juga akan memberikan dampak ke masyarakat umum. Hal tersebut dikarenakan literasi perpajakan yang ada masih sangat rendah. Di mana, ini dapat terlihat dari tingkat tax ratio di Indonesia yang bergerak dikisaran 10%.
“Tahun 2025, kebijakan coretax system akan diberlakukan, ini membutuhkan prasyarat wajib pajak mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik. Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Ajib dalam keterangan tertulis. (21/11).
Sementara menurut Ajib, dari sisi pemerintah paling tidak ada 3 manfaat dengan kebijakan tax amnesty. Pertama, kebutuhan budgeteir, yaitu untuk menambah pemasukan buat APBN. Kedua, harta bersih yang dilaporkan oleh wajib pajak, akan muncul yang sebelumnya menjadi bagian underground economy, bisa masuk ke Sistem Keuangan Indonesia yang lebih terbuka, dan selanjutnya menjadi aset yang lebih produktif masuk dalam putaran perekonomian nasional.
“Ketiga, bisa membantu memberikan daya ungkit terhadap pertumbuhan ekonomi 8%, karena tidak ada kekhawatiran masyarakat untuk membelanjakan uang yang telah diakui dalam program tax amnesty tersebut,” sambungnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Mukhamad Misbakhun, pada Hari Selasa 19 November 2024, menyampaikan bahwa DPR memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak atau tax amnesty dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Artinya, pemerintah akan kembali menjalankan tax amnesty jilid III setelah sebelumnya menjalankan pada tahun 2016 dengan program tax amnesty dan tahun 2022 dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
Tax amnesty jilid I yang berlaku pada tahun 2016, sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu pengampunan atas pajak terhutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar uang tebusan. Hasilnya, negara mengumpulkan uang tebusan Rp. 130 triliun, data deklarasi sebesar Rp. 4.813,4 triliun dan repatriasi sebesar 146 triliun.
Selanjutnya, pada tahun 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), yang berlaku pada Tanggal 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022, sesuai dengan amanah dari Undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP). Program ini selanjutnya dikenal dengan tax amnesty jilid II.
Kebijakan ini bisa mengumpulkan dana dari setoran PPh buat negara sebesar Rp. 61,01 triliun dan harta bersih yang diungkap sebesar Rp. 594,82 triliun. Tax amnesty jilid II memang tidak sesukses jilid I, diantaranya karena pembatasan peserta dan juga tarif yang cenderung kurang menarik.