EBuzz – Perkumpulan Analis Efek Indonesia menilai perekonomian selalu bergerak dalam siklus tumbuh (ekspansi), mencapai puncak, melemah (resesi), lalu pulih kembali. Siklus ini memang tak bisa dihindari, tetapi dapat dikelola agar periode pertumbuhan lebih panjang dan fase kontraksi lebih singkat.
Sejak akhir tahun lalu, sejumlah indikator sempat memunculkan nada pesimis terhadap prospek ekonomi Indonesia di 2025. Penerimaan pajak melemah, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur beberapa kali berada di area kontraksi, investor asing mencatatkan aksi jual di pasar saham, kredit perbankan hanya tumbuh 7,7% pada pertengahan tahun, sementara rasio Loan to Deposit (LDR) beberapa bank besar meningkat menandakan likuiditas mengetat.
Ketua Umum Perkumpulan Analis Efek Indonesia David Sutyanto mengatakan bahwa, dengan sinergi fiskal dan moneter yang lebih solid, peluang Indonesia untuk memperpanjang fase ekspansi kini semakin besar. Pasar modal yang terus positif, rupiah stabil, dan belanja pemerintah yang meningkat menjadi sinyal awal optimisme.
“Indonesia kini berada pada persimpangan penting. Kebijakan yang lebih berani memberi alasan untuk tetap optimis,” ujar David dalam keterangan tertulisnya. (18/9).
IHSG Cetak Rekor Tertinggi Sepanjang Masa
Ia menambahkan di sisi moneter, Bank Indonesia memberikan kejutan dengan memangkas suku bunga acuan ke level 4,75%, berbeda dari ekspektasi yang memperkirakan suku bunga akan tetap. Kebijakan ini memberi angin segar bagi konsumsi dan pasar modal.
Respons pasar pun cepat terasa. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak hingga mencetak rekor baru di level 8.025,18.
“Jika The Fed turut memangkas suku bunga, pelaku pasar menilai IHSG berpeluang kembali mencetak rekor,” tulisnya.
Meski demikian, risiko belum sepenuhnya hilang. Tekanan global, lemahnya permintaan yang terlihat dari inflasi rendah, serta potensi perlambatan aktivitas domestik masih perlu diwaspadai. Transparansi dan konsistensi kebijakan menjadi kunci keberhasilan menjaga momentum pertumbuhan.